TEMPO.CO , Jakarta
- Ahli tata negara dari Universite de Rouen, Prancis, Profesor
Jean-Philippe Derosier, mengamati kontroversi yang terjadi akibat
pengesahan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Undang-undang itu (Pilkada) bersifat anti-demokrasi," ujar Derosier
ketika memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Rabu, 1 Oktober
2014.
Anti-demokrasi, Derosier menjelaskan, terjadi karena
pengikisan hak rakyat dalam memilih kepala daerah. "Padahal awalnya
rakyat memilih sendiri kada dalam pemilu," katanya. Dengan beleid itu,
kata dia, kepala daerah dipilih oleh parlemen/DPRD.
Namun
demikian, Derosier enggan memberikan pendapat lebih lanjut soal UU
Pilkada karena berstatus warga negara asing. Status ini menghalanginya
untuk memberikan opini mendalam.
Hanya saja, dia mengatakan,
pemilihan kepala daerah melalui DPRD, juga memberi kemudahan bagi rakyat
itu sendiri. Derosier menjelaskan, rakyat tidak perlu repot melakukan
dua kali pemilu.
Di Indonesia, rakyat harus memilih wakilnya di
parlemen melalui pemilu legislatif, kemudian disusul dengan pemilu
presiden atau kepala daerah. UU Pilkada, Derosier melanjutkan,
mengingatkan dirinya tentang sistem yang sama seperti di Inggris dan
Jerman. "Karena saya orang Eropa," ujarnya.
Sistem pemilu di
Inggris, tutur Derosier, lebih mudah karena rakyat hanya melalukan
pemilu satu kali. Pemilu langsung dilakukan untuk menentukan parlemen.
"Kursi Perdana Menteri otomatis jadi milik partai pemenang pemilu,"
katanya. Sebelumnya, calon perdana menteri sudah terlebih dahulu
diperkenalkan ke publik sebelum pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar